Selasa, 29 Desember 2015

Apa itu pungutan Dana Ketahanan Energi

Pungutan dana ketahanan energi dituding tanpa dasar hukum yang jelas. Pungutan itu membuat penurunan harga BBM bersubsidi saat ini tak sesuai harga keekonomiannya. Namun Menteri ESDM berkukuh rezim subsidi harus secara bertahap bergeser, menuju pengenaan premi atas BBM.


Pemerintah telah memutuskan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar turun mulai 5 Januari 2016. Harga premium menjadi Rp7.150 dan solar Rp5.950. Meski demikian, harga keekonomian premium saat ini hanya Rp6.950 per liter, dan solar Rp5.650 per liter, sudah termasuk subsidi Rp1.000 per liter.

"Karena ada pungutan dana ketahanan energi Rp200 per liter untuk premium, dan Rp300 per liter untuk solar," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, Rabu (23/12/2015).

Kebijakan inipun dikritik. Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean, menyatakan momentumnya belum tepat untuk memungut premi energi ini. "Bukan waktunya rakyat dibebankan dana pungutan. Bahkan lebih besar dari jumlah penurunan," ujarnya kepada Tempo.co.

Kritik lain datang dari pengamat ekonomi, Ichsanudin Noorsy. Menurutnya, tidak seharusnya pemerintah memungut dari masyarakat, karena tidak diatur dalam Undang-Undang No. 30/2007 tentang Energi. Ia menilai pungutan itu lebih tepat diberlakukan pada kontraktor sebagai kompensasi kerusakan alam akibat eksplorasi energi.

"Dana ini tidak seharusnya dipungut dari rakyat. Ini menunjukkan pemerintah tidak simpatik karena di tengah penurunan harga minyak dunia malah menambah beban masyarakat," kata Noorsy, Kamis (24/12), dilansir Kompas.com.

Apa pula itu pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE)?

Secara umum, masyarakat akan membayar lebih mahal dari nilai keekonomian solar dan premium. Premium yang seharusnya bisa dijual seharga Rp6.950 per liter, harus dibeli masyarakat seharga Rp200 lebih mahal. Selisih harga inilah yang dianggap sebagai pungutan. Begitu pula pada harga solar.

Dalam perspektif pemerintah, pungutan ini adalah premi atas pengurasan energi fosil, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 30/2007, dan Peraturan Pemerintah No. 79/2014. Berikut penjelasan Menteri Sudirman Said yang dirilis di situs web resmi Kementerian ESDM (25/12).

"Rezim subsidi harus secara bertahap bergeser menjadi rezim netral subsidi, dan suatu saat dikenakan pungutan premi atas BBM. Beban keuangan negara harus diprioritaskan ke belanja yang lebih produktif seperti infrastruktur kesehatan dan pendidikan," jelasnya.

Ia memaparkan, kilang pengolahan Indonesia kini sudah tua dan hanya mampu memenuhi separuh dari kebutuhan. Produksi minyak mentah yang terus menurun, menyebabkan impor minyak mentah terus meningkat. Sementara, potensi energi baru dan terbarukan yang demikian besar tidak terolah dengan baik.

Karena itu, DKE dibutuhkan sebagai stimulus untuk membangun enegi baru dan terbarukan. Juga untuk melakukan eksplorasi migas, geothermal dan batubara, karena investasi untuk eksplorasi sedang menurun. Padahal, eksplorasi ini penting untuk mengetahui cadangan energi secara akurat.

"Secara konsepsi dana ini dapat digunakan untuk mendorong explorasi agar depletion rate (tingkat pengurasan) cadangan kita bisa ditekan. Juga bisa digunakan untuk membangun infrastrukur cadangan strategis. Pun dapat digunakan untuk membangun energi yang sustainable yakni energi baru dan terbarukan," ujar Sudirman Said.

Dana pungutan ini seperti uang negara pada umumnya, disimpan oleh Kementerian Keuangan dengan otoritas penggunaan oleh kementerian teknis yaitu Kementerian ESDM. Audit secara internal dilakukan oleh Irjen Kementerian ESDM atau BPKP, dan BPK juga akan mengaudit secara eksternal.

"Kalau persoalannya adalah mekanisme pemungutan dan pengelolaan, dan jika memang harus masuk dalam APBN, ya mudah saja. Nanti melalui mekanisme APBNP kita akan usulkan kepada DPR," tutupnya.

Tentang Dasar Hukum Pungutan DKE

Adapun UU No. 30/2007 tentang Energi yang dijadikan rujukan, adalah Pasal 29 dan Pasal 30 mengenai Penelitian dan Pengembangan di bidang energi. Kedua pasal tersebut di antaranya menyatakan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diutamakan untuk energi baru dan terbarukan, demi kemandirian industri energi nasional.

Pendanaan kegiatan ini difasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara lain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD, dan dana dari swasta. Syaratnya, diambil dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan.

Sedangkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, khususnya Pasal 27 disebutkan, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyediakan alokasi dana pengembangan dan penguatan infrastruktur energi yang memadai.

Penguatan pendanaan itu dilaksanakan dengan meningkatkan peran perbankan nasional dalam pembiayaan kegiatan produksi minyak dan gas bumi nasional, pengembangan energi terbarukan, dan program hemat energi; menerapkan premi pengurasan energi fosil; dan/atau alokasi anggaran khusus oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Khusus mengenai premi pengurasan energi fosil, digunakan untuk kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, pengembangan sumber energi baru dan terbarukan, peningkatan kemampuan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, serta pembangunan infrastruktur pendukung.

Tulisan ini dari Beritagar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar